Film Tan-Ti-Ana (2024) ana merasa ada sesuatu yang belum selesai di masa lalunya, dan dorongan untuk mencari jawaban membuatnya kembali ke tempat yang dulu ia tinggalkan dengan perasaan luka dan kecewa.
Tan-Ti-Ana (2024) seiring ia sering mendengar suara-suara misterius di malam hari, melihat bayangan samar yang selalu mengawasinya, dan merasa ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Penduduk desa tampak menutup diri, seperti menyimpan rahasia besar yang tak ingin diungkapkan. Semua ini membuat Ana semakin terobsesi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, baik dengan ibunya maupun dengan dirinya sendiri.
Film ini menggunakan pendekatan naratif yang tidak linear. Penonton diajak bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, menggali latar belakang keluarga Ana yang ternyata menyimpan luka turun-temurun. Melalui kilas balik, kita melihat bagaimana hubungan Ana dengan ibunya terjalin erat namun rumit, dengan dinamika cinta dan ketegangan yang terus membekas hingga dewasa. Sosok ayah yang tidak pernah dijelaskan secara langsung dalam dialog menambah lapisan misteri terhadap identitas dan asal-usul Ana, seolah film ini ingin mengajak penonton untuk merenung tentang warisan trauma dan keterikatan batin dengan akar leluhur.
Salah satu kekuatan utama Tan-Ti-Ana (2024) pengambilan gambar yang lambat dan komposisi visual yang penuh warna alam, kabut, dan bayangan menciptakan suasana yang mendalam dan kadang membuat bulu kuduk merinding. Desain suaranya juga sangat mendukung—dari detak jam tua yang berulang, desir angin yang mendesis seperti bisikan, hingga suara-suara lirih yang datang entah dari mana.
Akting pemeran utama, terutama karakter Ana, ditampilkan dengan sangat kuat dan emosional. Tatapan matanya yang penuh beban, gerak tubuhnya yang gelisah, dan suaranya yang nyaris selalu berbisik membuat kita benar-benar merasakan kecemasan dan kebingungan yang ia alami. Dia bukanlah tokoh yang tangguh dalam arti konvensional, tetapi justru kekuatannya terletak pada keberaniannya menghadapi ketakutan terdalamnya sendiri. Tokoh pendukung seperti dukun tua, tetua desa, dan anak-anak misterius yang kadang muncul di sekitar rumah tua turut memberikan warna dalam cerita dan memperdalam kesan mistis yang dibangun.
Secara tematik, Tan-Ti-Ana (2024) mengangkat isu tentang identitas, rasa bersalah, dan rekonsiliasi dengan masa lalu. Ia berbicara tentang trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi, tentang luka yang tidak disembuhkan, dan tentang bagaimana seorang individu bisa terjebak dalam labirin batinnya sendiri. Film ini tidak memberikan jawaban pasti atas banyak pertanyaan, dan justru itu yang membuatnya kuat. Ia membiarkan penonton menafsirkan sendiri makna dari simbol-simbol yang disebar di sepanjang cerita—seperti boneka tua yang rusak, lukisan burung yang kehilangan warna, atau pintu yang selalu terbuka ke arah hutan.
Yang menarik adalah latar budaya lokal yang sangat terasa dalam film ini. Bahasa, kebiasaan, hingga mitos-mitos yang digunakan tampaknya berasal dari budaya Asia Tenggara, dengan nuansa arkais yang kental. Hal ini membuat film terasa otentik dan mengakar. Kepercayaan masyarakat terhadap roh nenek moyang, kekuatan alam, dan tabu yang harus dihormati bukan sekadar gimmick, tetapi menjadi elemen penting dalam membangun dunia film yang unik. Bahkan, ritual-ritual yang digambarkan dilakukan dengan begitu detail dan penuh rasa hormat, seolah menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia spiritual.
Dari sisi teknis, Tan-Ti-Ana ditangani dengan sangat apik. Sinematografi yang lembut dan surealis, dipadu dengan musik latar yang haunting namun tenang, menciptakan pengalaman menonton yang hampir seperti mimpi. Editingnya memang tidak cepat, bahkan cenderung lambat, tapi itu sesuai dengan irama cerita yang ingin dibangun: bahwa ini adalah perjalanan batin, bukan perlombaan mencari jawaban. Efek visual digunakan secara hemat namun efektif, terutama dalam menggambarkan peristiwa-peristiwa yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia biasa.
Tan-Ti-Ana jelas bukan film untuk semua orang. Bagi penonton yang mencari hiburan ringan atau kisah yang jelas dari awal sampai akhir, mungkin akan merasa frustrasi. Tapi bagi mereka yang menikmati film yang mengajak berpikir, merasakan, dan merenung, film ini adalah suguhan yang sangat memuaskan. Ia seperti puisi visual yang gelap, yang harus dibaca perlahan dan dirasakan setiap lapisnya. Maka dari itu nonton film horor indonesia.
Pada akhirnya, Tan-Ti-Ana (2024) tentang bagaimana seseorang menghadapi rasa kehilangan, pertanyaan yang tidak pernah terjawab, dan akhirnya berdamai dengan segala yang pernah membuatnya terluka. Film ini menunjukkan bahwa kadang jawaban tidak selalu penting. Yang penting adalah keberanian untuk bertanya, untuk menghadapi kegelapan, dan untuk tetap berjalan meski tidak tahu akan ke mana.
Film ini meninggalkan penonton dengan rasa tidak nyaman yang indah. Bukan karena ada hantu atau adegan mengagetkan, tapi karena ia mengingatkan kita bahwa dalam hidup, yang paling menyeramkan bukanlah makhluk halus atau kegelapan, melainkan bayangan dari masa lalu yang belum selesai kita hadapi.