Tacoma (2024) tidak dibekali dengan bujet besar atau efek visual yang memanjakan mata, film ini justru menekankan pada kekuatan naskah, pendalaman karakter, dan konflik emosional yang kuat. Di tengah dominasi film blockbuster yang penuh aksi dan ledakan, “Tacoma” menawarkan pengalaman sinematik yang lebih intim, reflektif, dan penuh makna, mengajak penonton menyelami lapisan terdalam dari psikologi manusia dan etika ilmiah.
Tacoma (2024) dengan berlatar di masa depan yang tidak terlalu jauh dari zaman kita sekarang, berfokus pada dua tokoh utama: Leo, seorang ilmuwan muda yang jenius namun penuh tekanan batin, dan Alejandra, seorang wanita dengan latar belakang sederhana namun memiliki kecerdasan dan ketekunan luar biasa dalam dunia sains. Keduanya bertemu dalam kondisi yang tidak ideal, namun sama-sama memiliki tujuan yang kuat: menciptakan serum yang mampu menyembuhkan atau bahkan menghidupkan kembali organ manusia yang rusak. Bukan untuk ketenaran atau kekayaan, tetapi karena dorongan emosional yang dalam karena mereka masing-masing pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti.
Leo digambarkan sebagai pribadi yang tertutup, dingin, dan terobsesi dengan pekerjaannya. Dengan trauma tersebut membuatnya terobsesi untuk menciptakan cara agar orang-orang tak perlu lagi kehilangan orang yang mereka cintai karena tubuh yang tak bisa diselamatkan. Sedangkan Alejandra memiliki masa lalu yang berbeda. Ia kehilangan adik perempuannya akibat kecelakaan, dan merasa bersalah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Keduanya bersatu dalam proyek ilmiah yang tidak hanya berbahaya secara teknis, tapi juga secara moral. Apakah manusia berhak “bermain Tuhan”? Di sinilah inti dari film ini dibangun.
Film ini tidak terburu-buru dalam menyajikan konfliknya. Penonton diajak mengikuti proses penelitian mereka, dari tahap awal eksperimen, kegagalan demi kegagalan, hingga akhirnya muncul titik terang. Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul konsekuensi yang tak terduga. Salah satu percobaan berhasil menghidupkan kembali jaringan organ, tetapi juga menciptakan efek samping yang mengerikan: ingatan buatan, perilaku agresif, dan ketidakseimbangan emosi pada subjek uji coba. Ini menjadi titik balik bagi kedua tokoh. Leo ingin tetap melanjutkan eksperimen dengan alasan “untuk kemanusiaan”, sementara Alejandra mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya mereka lakukan. Perbedaan visi ini menimbulkan konflik emosional yang kuat di antara mereka, memperumit hubungan profesional dan personal yang mereka jalani.
Yang menarik dari “Tacoma” adalah bagaimana film ini membaurkan elemen fiksi ilmiah dengan drama psikologis secara halus dan menyentuh. Tidak ada alien, mesin waktu, atau kota futuristik yang penuh cahaya neon. Film ini justru menempatkan sains dalam konteks yang sangat manusiawi dan dekat dengan realita. Dialog-dialognya terasa natural namun penuh makna, memperlihatkan bahwa naskah ditulis dengan sangat hati-hati dan penuh riset. Para tokohnya tidak sempurna, justru sangat manusiawi—memiliki ambisi, rasa takut, kesalahan, dan penyesalan.
Dari segi teknis, sinematografi dalam Tacoma (2024) menggunakan tone yang lembut namun tetap menekankan nuansa gelap dan penuh tekanan batin. Tata cahaya banyak menggunakan sumber alami seperti matahari pagi atau cahaya laboratorium yang redup, menciptakan suasana yang melankolis namun tetap realistis. Musik latarnya juga minimalis, hanya muncul pada saat-saat tertentu yang emosional dan mendalam. Elemen ini membuat penonton bisa lebih fokus pada emosi karakter dan jalannya cerita, tanpa terdistraksi oleh efek suara atau visual yang berlebihan.
Aktor yang memerankan Leo menunjukkan transformasi emosional yang luar biasa, dari sosok dingin yang terpaku pada misi ilmiah menjadi seseorang yang rapuh dan dipenuhi penyesalan. Alejandra pun tak kalah mengesankan. Karakternya memberi warna dan kelembutan pada film, tetapi juga menunjukkan keteguhan moral yang kuat. Chemistry antara keduanya sangat terasa, bukan dalam konteks romansa yang berlebihan, melainkan dalam hubungan antar manusia yang dibangun oleh rasa percaya dan tujuan bersama.
Menariknya, film Tacoma (2024) juga mengangkat dilema etika yang sangat relevan di dunia modern. Di era kemajuan bioteknologi dan kecerdasan buatan, pertanyaan tentang batas moral manusia dalam menciptakan sesuatu yang “di luar kuasa alami” menjadi perdebatan yang hangat. Di babak akhir film, Leo dan Alejandra menghadapi kenyataan pahit. Eksperimen mereka berhasil, tetapi tidak bisa digunakan dengan aman. Mereka harus memilih antara menyebarkan penemuan mereka kepada dunia, dengan segala risikonya, atau menghentikan semuanya demi menghindari bencana yang lebih besar. Keputusan mereka membawa konsekuensi emosional yang berat, dan di sinilah klimaks film mencapai puncaknya. Film berakhir dengan nuansa ambigu, tidak benar-benar memberikan resolusi yang sempurna, namun cukup untuk membuat penonton terpaku hingga kredit akhir. Soalnya nonton film horor indonesia.
Tacoma (2024) tapi bagi mereka yang menyukai cerita dengan lapisan makna, konflik batin, dan refleksi moral yang mendalam, film ini adalah permata tersembunyi. Di tengah hiruk-pikuk film-film aksi dan superhero, “Tacoma” hadir sebagai alternatif yang cerdas dan menyentuh, membuktikan bahwa fiksi ilmiah tidak harus selalu megah secara visual untuk bisa meninggalkan kesan yang mendalam. Sebagai bagian dari lanskap film independen Amerika, “Tacoma” memperlihatkan bahwa industri perfilman masih memiliki ruang untuk kisah-kisah yang jujur, berani, dan penuh pemikiran. Film ini memberikan harapan bahwa ke depan, akan ada lebih banyak karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penontonnya berpikir dan merasakan.