I Want To Talk (2024) adalah sebuah film drama psikologis yang mengangkat tema percakapan, trauma, dan pencarian kebenaran yang tertanam dalam konflik manusia. Film ini tidak menawarkan ledakan atau aksi besar seperti film-film blockbuster lainnya, melainkan sebuah perjalanan batin seseorang yang mencoba menjembatani luka masa lalu lewat kata-kata. Dalam balutan sinematografi yang tenang namun menggugah, penonton diajak menyelami ruang-ruang sunyi yang biasanya dihindari dalam percakapan sehari-hari.
Cerita berpusat pada karakter utama bernama Lisa Harrow, seorang jurnalis investigasi yang sedang menjalani masa hiatus setelah terlibat dalam kasus kontroversial yang mengguncang karier dan hidup pribadinya. Di tengah kesepiannya, Lisa menerima sebuah surat dari seseorang yang mengaku memiliki informasi penting tentang kasus lama yang sempat ia tutup. Namun surat itu bukan sekadar petunjuk baru, melainkan sebuah undangan untuk berdialog tentang masa lalu, dengan seseorang yang tak terduga: pelaku dalam kasus yang dulu ia angkat ke permukaan. Film ini mulai membangun tensi sejak Lisa memutuskan untuk bertemu dengan orang tersebut. Bertempat di sebuah fasilitas isolasi di daerah pedalaman, pertemuan keduanya menjadi inti dari film, yang berlangsung dalam percakapan panjang, jujur, dan terkadang mengganggu. Uniknya, I Want To Talk (2024) tidak menampilkan banyak karakter pendukung. Hampir seluruh durasi film didedikasikan untuk interaksi Lisa dengan pria bernama Owen, sosok yang penuh teka-teki dan mengklaim dirinya bukan seperti yang diberitakan media. Percakapan mereka tidak hanya membahas peristiwa kriminal yang terjadi, tetapi juga menyentuh hal-hal mendalam seperti rasa bersalah, manipulasi media, hingga trauma masa kecil yang tak pernah diselesaikan. Penonton akan diajak untuk mempertanyakan sisi objektif dari sebuah kebenaran apakah kebenaran adalah fakta yang dingin, ataukah ia dipenuhi oleh tafsir yang tak selesai?
Aktor dan aktris utama dalam film ini memainkan peran mereka dengan sangat intens. Lisa, diperankan oleh aktris kawakan yang mampu menampilkan nuansa batin yang kompleks, hadir dengan ekspresi tenang namun penuh konflik. Sementara Owen, diperankan oleh aktor teater dengan dialog tajam dan ekspresi misterius, membuat penonton terus bertanya-tanya: apakah dia korban sistem atau dalang dari segalanya? Film ini tidak menawarkan jawaban pasti. Ia lebih memilih membuka ruang refleksi, membuat kita sebagai penonton turut terlibat dalam percakapan tersebut, seolah menjadi saksi dan hakim dari narasi yang tersaji. I Want To Talk (2024) tidak hanya mengandalkan kekuatan skrip yang padat, tetapi juga keheningan. Dalam banyak adegan, tidak ada musik latar yang dominan. Sebaliknya, suara detak jam, napas tokoh, atau gesekan kursi menjadi instrumen yang menambah kedalaman emosi. Teknik ini berhasil menciptakan suasana tegang dan membuat setiap kata yang diucapkan memiliki bobot. Film ini tampak mengambil inspirasi dari gaya penceritaan teater modern, di mana ruang, ekspresi, dan jeda menjadi bagian penting dari cerita.
Salah satu kekuatan utama film ini terletak pada keberaniannya mengeksplorasi ranah yang jarang disentuh: percakapan sebagai bentuk terapi sekaligus konfrontasi. Tidak semua orang siap untuk berbicara, apalagi tentang masa lalu yang kelam. Namun di sinilah keindahan film ini bagaimana dua manusia yang sebelumnya saling membenci bisa saling mendengarkan, saling memahami, dan bahkan mungkin, memaafkan. Meski jalan cerita tidak sepenuhnya menawarkan akhir bahagia, namun penonton diberi ruang untuk menyimpulkan sendiri pesan yang ingin disampaikan. Secara teknis, film ini memiliki visual yang minimalis namun efektif. Setiap detail dalam film terasa diperhitungkan. Bahkan, warna pakaian karakter pun mencerminkan pergeseran emosi dan dinamika hubungan mereka sepanjang film.
Dari sisi tema, I Want To Talk (2024) bisa dibilang sebagai kritik halus terhadap bagaimana media membentuk opini publik dan mempersempit ruang untuk memahami kebenaran dari berbagai sisi. Lisa, yang merupakan jurnalis, menyadari betapa berat tanggung jawab dalam menyampaikan informasi, terlebih ketika informasi itu dapat menghancurkan hidup seseorang. Film ini seakan menjadi refleksi atas bagaimana komunikasi yang tulus dan mendalam dapat membuka luka yang tersembunyi, namun juga menyembuhkannya secara perlahan. Penonton yang mencari hiburan cepat mungkin tidak akan menemukan banyak dalam film ini. Namun bagi mereka yang menikmati film dengan dialog tajam, akting emosional, dan refleksi filosofis, I Want To Talk (2024) akan menjadi pengalaman sinematik yang tak terlupakan. Film ini menunjukkan bahwa berbicara, meski sederhana, adalah tindakan yang sangat kuat. Di balik setiap kata yang terucap, tersimpan lapisan emosi dan sejarah yang seringkali lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Soalnya nonton film horor indonesia.
Dan juga mengajarkan bahwa mendengarkan adalah bagian dari berbicara. Dalam banyak adegan, Lisa tidak hanya bicara ia belajar untuk mendengar, untuk memahami bahwa tidak semua hal harus dikendalikan lewat narasi sendiri. Owen pun bukan hanya sebagai orang yang ingin didengarkan, tapi juga seseorang yang, meski pernah berbuat salah, tetap punya sisi manusiawi yang patut dikenali. Akhir film ini akan membuat penonton terdiam. Bukan karena twist besar, melainkan karena kesadaran bahwa dalam hidup nyata, sering kali kita tidak mendapatkan jawaban yang kita inginkan. Tapi mungkin, proses mencari jawaban itulah yang paling penting. Dengan sebuah surat cinta pada percakapan yang jujur dan dalam. Sebuah film yang menghargai kata, menghargai diam, dan menghargai keberanian untuk membuka diri di hadapan orang lain. Dalam dunia yang penuh kebisingan dan penilaian cepat, film ini mengajak kita untuk duduk, berbicara, dan mendengarkan karena terkadang, hanya itu yang dibutuhkan untuk mulai menyembuhkan.