Broke 2025, membuka babak baru bagi sutradara veteran Anton Radley yang selama ini dikenal lewat thriller berskala besar. Alih‑alih kejar‑kejaran mobil dan ledakan, Radley kali ini memilih skala kecil namun tajam: kisah sekelompok teman lama yang terhimpit utang, moral abu‑abu, dan krisis ekonomi global yang membuat segala sesuatu terasa rapuh. Film berdurasi dua jam sebelas menit ini memusatkan cerita pada Ethan Marsh, mantan bartender yang kehilangan pekerjaan ketika bar tempatnya bekerja ditutup akibat pandemi berkepanjangan. Ethan digambarkan sebagai pria tiga puluh dua tahun dengan idealisme redup; ia tinggal di apartemen studio sempit di kota fiksi Newton Falls, berjuang membayar sewa sementara tagihan listrik menumpuk di meja dapur. Hidupnya berubah saat ia bertemu kembali dengan dua sahabat SMA, Rory Jensen dan Mara Delgado, yang sama‑sama terhimpit kesulitan keuangan. Rory adalah sopir jasa antar yang digerogoti biaya bahan bakar melonjak, sedangkan Mara dulu atlit bola basket universitas terlilit biaya pengobatan cedera lutut kronis.
Broke 2025 dimulai dengan pertemuan minum kopi murah di gerai 24 jam menjadi bibit rencana terlarang. Mereka bernostalgia tentang masa remaja ketika lapar berarti memesan sepiring kentang goreng untuk bertiga, lalu tanpa sadar percakapan bergeser ke obrolan bagaimana kalau kita mengambil kembali yang seharusnya milik kita. Di tengah keputusasaan, Rory mengungkap bahwa gudang pusat distribusi tempat ia menjemput paket kerap menyimpan uang tunai sementara hasil setoran harian kurir sebelum diambil oleh van lapis baja tiap Jumat dini hari. Menurutnya pengamanan longgar, hanya dua petugas outsourcing. Mara, yang mempelajari arsitektur sebelum cedera menggeser kariernya, membantu membuat denah sederhana. Ethan, meski ragu, akhirnya setuju karena ancaman penggusuran makin nyata. Radley dengan lihai menampilkan tarik‑ulurnya melalui montase: Ethan menatap lembar bank yang hampir nol, suara mesin cuci koin berdentang, lalu potret ibunya di panti jompo yang menanti biaya bulanan.
Keputusan inilah yang menjadi sumbu film. Alih‑alih menjadi heist glamor seperti Ocean s Eleven, Broke 2025 menegaskan absurdnya kejahatan kelas bawah: sarung tangan dicuri dari toko dolar, obrolan strategi di lorong swalayan, senjata hanya pistol soft‑air dimodifikasi. Ethan dan kawan‑kawan melakukan latihan konyol di tempat parkir kosong, diterangi lampu neon berkedip, menampilkan kejanggalan pejuang amatir. Sutradara menolak romantisasi; kamera handheld menyorot keringat, kegugupan, dan selipan humor getir Mara terjatuh terpeleset minyak rem, Rory salah menghafal kode brankas. Meski kerap lucu, film tak pernah mengolok: Radley paham bahwa tragedi sering berpakaian komedi tipis, dan kegagalan kecil bisa berujung konsekuensi besar.
Hari eksekusi tiba di babak tengah film. Malam dingin, hujan rintik, gudang lengang kecuali musik radio murahan. Rory menyamar sebagai sopir terlambat mengantar paket, sementara Ethan menyelinap melalui pintu samping yang diganjal obeng. Mara berkaki pincang bertugas memotong listrik lima menit supaya CCTV re‑boot. Ketegangan merayap; detak jam dinding sejajar detak jantung penonton. Adegan direkam nyaris real‑time, memperkuat rasa cemas. Saat brankas akhirnya terbuka, hanya terdapat uang receh lebih sedikit dari yang diperkirakan. Total dua puluh tiga ribu dolar, jauh di bawah risiko yang mereka ambil. Kecewa, mereka tetap mengisi tas kanvas, tetapi kesalahan kecil senter jatuh menimbulkan gemerincing membangunkan penjaga yang tertidur. Kejar‑kejaran singkat berujung tembakan peringatan; Rory terluka serempetan peluru. Mereka melarikan diri ke mobil sedan tua Ethan, menembus malam dengan lampu rem mati.
Film tidak berhenti di sini. Broke 2025 mengeksplorasi apa yang terjadi setelah keberhasilan setengah hati. Uang dibagi, namun masalah tidak serta‑merta selesai. Mara memakai porsi untuk fisioterapi, tetapi rasa bersalah membuat tidurnya dihantui mimpi penjaga gudang. Rory, terluka fisik dan mental, membeli bensin dan menunggak cicilan, masih dirundung kecemasan terjerat hukum. Ethan, paling tertekan, diam‑diam menyetel alarm tiap jam tiga pagi, meyakini polisi akan datang. Radley menggambarkan paranoia melalui visual kota yang tiba‑tiba tampak lebih pucat, lampu jalan seperti sorot interogasi, suara sirene jauh menggaung lama. Dalam salah satu adegan paling kuat, Ethan menghadiri pesta ulang tahun keponakan; suara tawa anak‑anak berlatar kue ulang tahun berseri, namun kamera tetap terfokus wajah tegang Ethan memandang jendela, menunggu mobil patroli.
Babak akhir tidak menghadirkan tembak‑tembakan dramatis. Rory menyerahkan diri; petugas outsourcing ditangkap berkat kesaksian, tetapi Rory tetap menerima hukuman penjara singkat. Mara memutuskan meninggalkan kota, bekerja sebagai pelatih basket anak di daerah pantai, meski lutut sakit. Ethan menjual sebagian perabot dan pindah ke kamar kos bersama tiga orang, menabung sedikit demi sedikit. Film ditutup dengan Ethan mengunjungi Rory di penjara pinggiran; mereka duduk berhadapan melalui kaca, genggam telepon kuning. Ethan berkata ia belum menemukan pekerjaan tetap, tetapi sedang mengikuti kursus mekanik gratis pemerintah. Rory tersenyum kecil, menyebut bahwa mereka mungkin tak kaya, tapi setidaknya masih hidup. Kamera menyorot tangan Ethan menekan kaca, Rory membalas; lampu neon berkedip, layar menjadi putih perlahan, menandakan hari berakhir namun bukan cerita.
Broke 2025 menuai pujian karena keberanian menyorot kriminalitas kelas pekerja tanpa glorifikasi. Penonton merasakan getir: kejahatan bukan lahir dari ambisi besar, melainkan keadaan terpojok. Naskah Kara DuVall sarat dialog alami, menghindari jargon heist glamor, menampilkan betapa mahalnya kebutuhan dasar. Kritikus menyoroti sinematografi Leo Raines yang memanfaatkan cahaya sodium dan natural grain, memberi rasa dokumenter. Musik latar Julien O’Connor memadukan gitar slide pelan dan elektronik minim, menciptakan kesan kota yang terus berdetak meski warganya terkapar. Setelah nonton film horor indonesia terbaru.
Film ini juga dikritik sebagian karena tempo lambat dan akhir terbuka; beberapa penonton menginginkan kepuasan moral lebih jelas. Namun Radley sengaja menolak jawaban mudah. Ia ingin penonton meninggalkan bioskop bertanya: apa arti kemenangan dalam sistem ekonomi timpang? Apakah sahabat bisa selamat jika uang menjadi penentu? film ini menyuguhkan potret rapuh manusia, di mana kejujuran dan keputusasaan berdansa di tepi jurang. Di era inflasi melonjak dan ketidakpastian kerja, kisah Ethan, Rory, dan Mara terasa dekat, menampar lembut kesadaran kita tentang harga kecil keputusasaan dan betapa tipis batas antara korban dan pelaku.