As It Burns 2024 adalah film drama psikologis-thriller yang mengejutkan banyak penonton dan kritikus pada tahun perilisannya. Disutradarai oleh Eleanor G. Maddox, film ini merupakan karya sinematik yang gelap, penuh tekanan emosional, dan menawarkan studi karakter yang dalam mengenai trauma, keputusasaan, dan obsesi manusia terhadap kebenaran. Tidak seperti film thriller biasa yang mengandalkan ledakan atau aksi cepat, film ini membakar perlahan, membiarkan ketegangan tumbuh dan menggerogoti pikiran penonton dari awal hingga akhir. Kekuatan utama film ini terletak pada atmosfir, akting luar biasa dari para pemerannya, dan naskah yang tajam serta penuh simbolisme.
Cerita film As It Burns 2024 berpusat pada karakter utama bernama Julia Brennan, seorang jurnalis investigatif yang kembali ke kota kecil tempat ia dibesarkan setelah hampir dua dekade meninggalkannya. Kunjungannya bukan untuk reuni keluarga, melainkan untuk menyelidiki serangkaian kebakaran misterius yang telah menewaskan tiga orang dalam dua tahun terakhir. Kebakaran itu tidak pernah terpecahkan secara hukum, namun selalu tampak menyasar properti yang memiliki keterkaitan sejarah dengan peristiwa kelam masa lalu kota tersebut. Julia, diperankan secara memukau oleh Ruth Wilson, membawa serta luka batin yang belum sembuh termasuk kehilangan ibunya dalam kebakaran serupa ketika ia masih remaja. Kemudian nonton film horor indonesia.
Semakin dalam Julia menyelidiki, semakin ia diseret ke dalam labirin trauma kolektif warga kota. Ia mewawancarai keluarga korban, mantan teman sekolah, serta polisi lokal yang dulu menangani kasus ibunya. Tapi bukan jawaban yang ia temukan justru semakin banyak kebohongan, kontradiksi, dan rasa tidak nyaman yang mulai muncul. Kota kecil itu menyimpan sesuatu, dan semua orang tampaknya tahu tapi memilih diam. Dalam prosesnya, Julia juga harus berhadapan dengan hal-hal yang telah ia kubur dalam pikirannya selama bertahun-tahun.
Yang membuat As It Burns 2024 begitu kuat bukan hanya alur misterinya, tapi bagaimana film ini menggambarkan rasa bersalah, ketakutan, dan kehilangan yang begitu manusiawi. Sutradara Eleanor Maddox tidak menyajikan kebenaran secara frontal. Sebaliknya, ia membiarkan Julia dan penonton terus merasa ragu, terus bertanya-tanya apakah kebakaran yang terjadi adalah ulah manusia, bencana alam, atau mungkin simbol dari amarah yang selama ini mendidih dalam diri setiap karakter.
Ruth Wilson tampil luar biasa sebagai Julia. Ia tidak bermain sebagai jurnalis tangguh yang penuh percaya diri. Sebaliknya, ia menunjukkan kerapuhan, kekacauan emosional, dan ketegangan batin yang membuat penonton ikut merasa tidak nyaman. Dalam banyak adegan, dialog pun tidak diperlukan. Tatapan Julia yang kosong, cara ia duduk sendirian menatap rumah ibunya yang kini hangus dan terlantar, semua itu sudah cukup untuk menyampaikan beban psikologis yang ia pikul. Aktingnya membuat film ini terasa nyata, seolah kita tidak sedang menonton fiksi, tapi mengintip kehidupan nyata seseorang yang perlahan hancur.
Christopher Abbott memerankan Nathan Ellis, seorang pemadam kebakaran lokal yang memiliki hubungan rumit dengan keluarga Julia. Awalnya tampak sebagai sekadar sosok informan, karakternya berkembang menjadi seseorang yang menyimpan penyesalan dalam-dalam mungkin terlalu dalam. Interaksi mereka tidak penuh romansa murahan, melainkan konflik batin dan ketegangan yang tidak terucapkan. Sementara itu, aktris veteran Shohreh Aghdashloo tampil singkat namun mencuri perhatian sebagai Teresa, seorang tetangga tua yang menjadi semacam penanda moral dalam cerita. Dialognya penuh makna, dan kehadirannya memberikan warna spiritual dalam film yang sebagian besar terasa sangat gelap.
Secara teknis, As It Burns 2024 sangat mengesankan. Sinematografi oleh Juleen Farris terasa intim dan menekan. Banyak adegan difilmkan dalam cahaya rendah atau menggunakan warna-warna hangus seperti coklat tua, abu-abu, dan merah bata. Pilihan ini mendukung tema besar film: pembakaran, penghancuran, dan perasaan tidak pernah bisa kembali seperti dulu. Musik latar yang digunakan pun minimalis, sering kali digantikan oleh suara alam seperti desiran angin, retakan kayu, atau suara api yang menyala di kejauhan. Semua itu memberikan perasaan bahwa sesuatu sedang membusuk dan terbakar tidak hanya bangunan, tapi juga jiwa manusia.
Alur film memang tidak cepat. Film ini mengambil pendekatan yang lambat, membuat sebagian penonton mungkin merasa frustrasi. Tapi justru ritme inilah yang menjadi kekuatan film. Seiring waktu, penonton mulai menyadari bahwa film ini tidak sedang berusaha memberi jawaban, tetapi memperlihatkan konsekuensi dari menyimpan luka terlalu lama. Momen klimaks tidak hadir dalam bentuk kejar-kejaran atau pengungkapan besar. Justru dalam keheningan dan pengakuan kecil, film ini mencapai titik emosionalnya yang paling dalam.
Salah satu adegan paling menggugah adalah ketika Julia akhirnya masuk kembali ke rumah masa kecilnya yang telah terbakar. Tanpa musik, hanya suara langkah kaki, papan kayu yang retak, dan napas berat, ia berjalan dari ruangan ke ruangan, menyentuh dinding gosong, menemukan sisa-sisa boneka masa kecilnya yang meleleh. Tidak ada dialog. Tapi seluruh adegan itu terasa seperti ledakan emosional yang tidak terucapkan. Kamera tidak berpindah-pindah cepat, melainkan tetap menempel pada Julia, menyoroti betapa dalam luka yang ia bawa.
Di akhir film, tidak semua misteri terpecahkan secara gamblang. Justru di situlah kekuatan As It Burns 2024 berada. Film ini tidak ingin memberi jawaban hitam-putih. Apakah kebakaran disengaja? Siapa pelakunya? Apakah Julia hanya terjebak dalam delusi trauma masa kecilnya? Semua pertanyaan itu dibiarkan menggantung. Yang jelas, Julia telah berubah. Ia tidak lagi jurnalis yang datang untuk menemukan kebenaran, tapi seorang manusia yang sedang belajar menerima bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan dengan fakta. film ini merupakan film yang menantang. Ia bukan tontonan ringan, bukan pula film yang cocok untuk mereka yang mencari hiburan cepat. Tapi bagi mereka yang ingin mengalami film yang menghantui, yang berbicara lewat keheningan dan luka batin, ini adalah pengalaman sinematik yang layak dikenang.